• di kolong kami belajar (kisah nyata yang wajib untuk di renungkan)

    TRIBUNNEWS.COM - Sabtu (29/10/2011), waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB. Suasana mendung menambah gelapnya hari. Di bawah jalan tol T.B. Simatupang, dekat perempatan Lebak Bulus tampak segerombolan anak jalanan sedang berkumpul mengobrol. Begitu pula, dengan ibu mereka. Namun, ada juga yang sedang mengamen dari mobil ke mobil saat lampu sedang merah.
    Tapi di sudut lain bawah jalan tol, ketiga anak jalanan terlihat duduk berkeliling didampingi dua orang pemuda-pemudi. Ningsih (11 th), bersama dengan Khusnul adiknya dan seorang temannya ternyata sedang berkumpul untuk belajar. Tiga anak jalanan yang haus akan ilmu pengetahuan. Tak peduli gelap dan bisingnya jalanan menyertai proses belajar itu.
    Tiap Sabtu, dua orang kakak ini, Kholis dan Damai datang untuk mengajak anak-anak jalanan di bawah kolong tol T.B. Simatupang, depan Carrefour Lebak Bulus. Ketiga anak ini salah satunya yang tidak pernah absen belajar.
    "What's time is it?" tanya Damai. Ketiganya pun dengan malu-malu menjawab "apa sih. Ga tau."
    Ningsih, Khusnul, dan Wulan merupakan korban dari beratnya kehidupan. Mereka menjadi tulang punggung keluarga. Ningsih contohnya, sejak umur 3 tahun sudah belajar mengamen dari kopaja ke kopaja. Berangkat dari rumahnya di belakang Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Ia menumpang angkot sambil mengamen untuk menuju daerah Lebak Bulus.
    Awalnya ia takut saat disuruh ibunya untuk mengamen, tetapi seiring waktu mengamen sudah merupakan aktivitas wajib dalam kehidupannya. "Enggak, aku tidak takut. Dengan anak-anak punk juga aku ga pernah takut" ucapnya sembari mengerjakan soal matematika.
    Setiap hari sepulang sekolah, Ningsih akan mengamen untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun sebelumnya, ia akan pulang terlebih dahulu untuk makan dan berganti baju. Ia memulai perjalanan mengamen  dari pukul 13.00 sampai malam. Terkadang sampai jam 8 malam jika suasana sedang ramai.
     Jika hari kerja, sehari Ningsih bisa menghasilkan sampai sekitar  Rp 50.000 dari mengamen. "Kalau sedang sepi biasanya hanya dapat Rp 25.000," ujarnya.
    Beda lagi jika hari libur Sabtu dan Minggu, ia bisa mendapat di atas Rp 50.000 dalam sehari. "Rp 10.0000-nya aku sisihkan untuk menabung di sekolah. Tapi sekarang udah habis bukunya," lanjut anak perempuan berambut keriting.
    Saat ditanya dipakai untuk apa uang tabungannya, Ningsih menjawab dengan polos untuk jajan mie.
     Ningsih bukan merupakan satu-satunya anak yang menjadi tulang punggung keluarga. Ia memiliki 4 orang saudara, dan kesemuanya juga sama-sama bekerja sebagai pengamen. Ada pula yang bekerja sebagai pemulung. Sedangkan ibunya hanya di rumah menjaga rumah, tetapi terkadang bekerja mengupas bawang di pasar induk.
    Orangtua Ningsih sudah bercerai sejak ia kecil, tetapi ibunya saat ini sudah menikah lagi. Oleh ayah kandungnya, ia tidak diperbolehkan untuk mengamen. "Tapi kalau sama ibu boleh," ucapnya sambil tersenyum seakaan tidak ada beban berat yang mesti ditanggungnya.
    Ningsih bukan merupakan anak jalanan permanen, ia masih memiliki keluarga dan orangtua. Suatu ketika, Ningsih dan kawan-kawannya terjaring dalam razia yang diadakan oleh satpol PP. Mereka kemudian dibawa ke kelurahan setempat. Untuk menebus Ningsih, oran tuanya harus menyerahkan surat akta lahir kepada kelurahan.
    "Kalau tidak bisa menyerahkan, Bapak biasanya harus memberikan uang sejumlah Rp 300.000," ucapnya. Dari  mana uang itu? "Biasanya Bapak meminjam uang dulu karena tidak punya uang," terang Ningsih melanjutkan ceritanya.
    Ningsih kembali mengerjakan soal matematika tersebut. Saat ditanya mengenai perasaannya dalam mengikuti belajar ini, ia langsung merespon dengan senyum mengembang yang tampak malu-malu.
    "Senang. Disini belajar banyak, belajar bahasa inggris, matematika, agama. Kadang juga dibacain cerita-cerita," ungkapnya.
    Namun terkadang, ia harus menunda keinginannya untuk mengikuti belajar di kolong jalan tol itu jika uang yang didapatnya belum banyak. Ia mengatakan jika pendapatan dalam sehari tidak ditargetkan.
    Ningsih merupakan contoh anak jalanan yang ingin selalu belajar. Ditanya mengenai cita-citanya, Ningsih kembali tersenyum "Mau jadi dokter," ucap Ningsih dengan lantang. "Aku ingin bisa mengobati ibu jika ia sedang sakit," lanjutnya menutup perbincangan di bawah kolong jalan tol.
    Ningsih tak tahu akan masa depannya kelak. Namun, tekad dan cita-citanya tetap akan selalu ia gantungan. Walaupun berada dalam keterbatasan, di umurnya yang masih belia tak menyurutkan niatnya untuk tetap memperoleh ilmu.

    Sepdian Anindyajati, Mahasiswi Universitas Multi Media Nusantara

0 comments:

Post a Comment